RSS

Jaminan Rezeki

Jaminan Rezeki

Rezeki adalah segala hal yang dapat dimanfaatkan manusia, baik yang halal atau haram, yang baik maupun yang buruk. Rezeki yang diberikan Allah SWT kepada manusia tidak hanya berupa harta, tetapi meliputi semua karunia dan bakat yang ada pada manusia, seperti ilmu, kecerdasan otak, kefasihan lidah berbicara, dan kekuatan tubuh.

Semua yang tidak dimanfaatkan, meskipun milik kita, belum tentu rezeki kita. Boleh jadi itu rezeki orang lain. Sesuatu baru menjadi rezeki kita apabila dapat kita manfaatkan.

Rezeki yang dimanfaatkan menuju pada tiga arah. Apa yang dimakan akan menjadi kotoran, apa yang dipakai menjadi sampah, dan apa yang disedekahkan menjadi tabungan abadi di akhirat. Rasulullah SAW bersabda, ”Anak Adam berkata hartaku, hartaku. Sesungguhnya harta milik seseorang menuju tiga arah, apa yang dimakan akan lenyap, atau apa yang dipakai akan rusak, atau apa yang disedekahkan akan abadi.” (HR Muslim).

Semua rezeki datang dari Allah dan Dia menjamin rezeki setiap makhluk, termasuk manusia yang ingkar sekalipun. Allah SWT berfirman, ”Dan tidak ada suatu binatang melata pun di bumi melainkan Allahlah yang memberi rezekinya, dan Dia mengetahui tempat berdiam binatang itu dan tempat penyimpanannya. Semuanya tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfudh).” (QS 11: 6).

Meskipun rezeki semua manusia dijamin Allah, tetapi mereka tetap diperintahkan berusaha dan bekerja keras menggunakan ilmu dan keterampilan untuk mendapatkan rezeki tersebut. Allah SWT menilai setiap kerja yang dilakukan manusia. Firman-Nya, ”Dan katakanlah, ‘Bekerjalah kamu, maka Allah dan Rasul-Nya serta orang-orang mukmin akan melihat pekerjaanmu itu, dan kamu akan dikembalikan kepada Allah Yang Mengetahui akan yang gaib dan yang nyata, lalu diberitakan-Nya kepada kamu apa yang telah kamu kenakan’.” (QS 9: 105).

Iman, takwa, dan sikap tawakal yang melekat pada diri seseorang merupakan garansi mendapatkan rezeki dan karunia Allah. Allah SWT berfirman, ”Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Dia akan mengadakan baginya jalan ke luar. Dan memberinya rezeki dari arah yang tiada disangka-sangkanya. Dan barangsiapa yang bertawakal kepada Allah niscaya Allah akan mencukupkan keperluannya. Sesungguhnya Allah melaksanakan urusan yang dikehendaki-Nya. Sesungguhnya Allah telah mengadakan ketentuan bagi tiap-tiap sesuatu.” (QS 65: 2-3).

Ridho dan syukur terhadap rezeki dan nikmat yang telah diterima dapat mengundang datangnya rezeki Allah lebih banyak dari sebelumnya. Allah SWT berfirman, ”Dan (ingatlah juga), tatkala Tuhanmu memaklumkan kepadamu, dan jika kamu mengingkari nikmat-Ku, maka sesungguhnya azab-Ku sangat pedih.” (QS 14: 7).

Mereka yang selalu memohon ampun dan memperbanyak istighfar kepada Allah atas dosa yang pernah dilakukan membukakan curahan rezeki dari-Nya dengan cara tiada diduga. Rasulullah SAW bersabda: ”Siapa yang senantiasa ber-istighfar, Allah akan melapangkannya dari berbagai kesempitan hidup, akan membebaskannya dari berbagai kedukaan, dan memberinya curahan rezeki dari berbagai arah yang tiada diperkirakan sebelumnya.”

Sumber : Republika
 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 14/05/2016 inci Uncategorized

 

Hargai Waktu

Hargai Waktu

Pada suatu hari, Umar bin Abdul Aziz dihadapkan pada pekerjaan-pekerjaan yang menumpuk hingga ia letih dan capai. Dalam kondisi seperti ini datanglah seorang sahabat berkata, “Tunda saja pekerjaan itu sampai besok!”

Umar menjawab, “Pekerjaan satu hari saja sudah menyebabkanku letih. Bagaimana jika pekerjaan yang seharusnya dilakukan dalam dua hari digabung dalam satu hari? Besok adalah waktunya orang-orang yang lemah yang tidak mampu mengatur waktu dengan baik. Janganlah suatu hari pekerjaan ditunda karena kemalasan sampai besok pagi. Karena, besok pagi adalah harinya orang-orang yang lemah tidak berdaya.”

Waktu adalah modal manusia yang sangat berharga, seyogianya tidak dipenuhi dengan berbagai macam kelalaian dan keteledoran. Kita harus mampu melepaskan diri dari belenggu kebiasaan menunda-nunda pekerjaan. Kita harus memiliki komitmen yang kuat untuk selalu sadar menggunakan waktu dengan sebaik-baiknya.

Imam Hasan al-Bashri berkata, “Saya pernah bertemu dengan sekelompok orang yang lebih mementingkan memanfaatkan waktunya dengan baik daripada mengurusi dan memburu dirham dan dinar.”

Rasulullah SAW adalah teladan utama dalam masalah ini, begitu juga para utusan Allah SWT yang lain. Dalam hidupnya, Rasulullah SAW banyak membuat prestasi yang tiada tandingannya.

Dalam waktu 23 tahun, Rasulullah SAW mampu mendidik kader-kader dakwah yang akan meneruskan perjuangannya. Jika kita membandingkan prestasi Nabi SAW dengan diri kita, akan terasa bahwa diri kita amatlah kerdil.

Dalam buku Al-Waqtu fi Hayatil Muslim disebutkan, orang yang dianugerahi petunjuk oleh Allah SWT untuk menggunakan waktunya dengan baik mampu memanjangkan umurnya. Ia bisa memperpanjang kehidupannya hingga waktu yang dikehendaki oleh Allah SWT meskipun jasadnya telah mati. Ia tetap hidup, meskipun tubuhnya tidak bernyawa lagi. Ia masih terus menyampaikan misi-misi mulia, sedangkan jasadnya terkubur di dalam tanah.

Keberkahan waktu akan didapat oleh mereka yang menyadari dan mengetahui arti pentingnya waktu. Orang yang sadar dan waspada, waktunya akan selalu bermakna dan berharga. Pada dasarnya, baik buruknya waktu bergantung orang yang menggunakannya.

Orang yang lalai dan teledor, umur dan waktunya juga tidak bernilai dan berharga. Karena itu, tidak heran bila salah satu tanda datangnya hari kiamat adalah hilangnya keberkahan waktu.

Sahabat Anas bin Malik RA meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Kiamat tidak akan datang hingga masa terasa berjalan dengan cepat, setahun terasa sebulan, sebulan terasa seminggu, seminggu terasa sehari, sehari terasa satu jam, dan satu jam terasa bagai sepercikan api (yang hidup kemudian padam).” (HR Tirmidzi dan Ahmad).

Mari kita renungkan apa yang disampaikan Imam al-Hakim, “Banyak umur yang panjang masanya, tapi sedikit kemanfaatannya. Banyak juga umur yang pendek masanya, tapi banyak kemanfaatannya. Barang siapa umurnya diberkahi, niscaya dalam hidupnya akan menemukan beragam anugerah dari Allah SWT.” Wallahu a’lam.

Sumber : Republika
 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 13/05/2016 inci Uncategorized

 

Haruskah Menunggu Tua?

Haruskah Menunggu Tua?

Tidak sedikit Alquran menceritakan sosok pemuda ideal. Tidak sekadar memuji, Alquran bahkan menjadikannya sebagai teladan zaman. Ada Ibrahim, potret pemuda yang gigih menegakkan tauhid di tengah para penggiat syirik. “Sungguh Ibrahim adalah imam yang layak dijadikan teladan lagi patuh kepada Allah dan hanif. Dan sekali-kali dia bukanlah pelaku syirik” (QS an-Nahl [16]: 120).

Putra beliau, Ismail, adalah tipe pemuda yang berhati jujur dan suci. Ketika Ibrahim mengabarkan wahyu Allah untuk menyembelih dirinya, jawaban Ismail adalah, “Wahai Ayahanda, kerjakanlah apa yang diperintahkan Allah kepadamu. Insya Allah aku termasuk orang-orang yang sabar” (QS as-Shaffat [37]: 102). 

Alquran juga mengabadikan kisah Yusuf. Pemuda tampan ini sungguh luar biasa. Ketika dirayu Zulaikha, wanita cantik yang juga istri pembesar Mesir, Yusuf sanggup menundukkan gelombang syahwatnya sebagai lelaki normal. Dia lebih memilih penjara ketimbang berbuat mesum. “Wahai Tuhanku, penjara lebih aku sukai daripada memenuhi ajakan mereka kepadaku” (QS Yusuf [12]: 33).

Dan, yang juga terkenal adalah kisah Ashabul Kahfi. Cave of the Seven Sleepers, itulah nama situs bersejarah di Yordania yang jadi saksi atas tujuh pemuda bersama anjing mereka. Ngumpet demi mempertahankan akidah, mereka diselamatkan Allah dari kezaliman penguasa setempat. Tujuh pejuang tauhid itu ditidurkan Allah selama 309 tahun. “Sungguh mereka adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka, dan Kami tambah pula petunjuk untuk mereka” (QS al-Kahfi [18]: 13).

Cukuplah cuplikan kisah pemuda teladan itu. Hal yang penting kita cermati, masing-masing pemuda itu hebat ternyata bukan sekadar berotak cerdas atau berbadan kesatria. Mereka punya idealisme iman. Dan, kita tahu, iman adalah kemantapan hati yang diikrarkan dengan lisan, kemudian dinyatakan via tindakan. Itulah kunci keunggulan dan kehebatan diri.

Sekarang mari kita becermin: sudahkah pemuda kita punya keimanan prima itu? Minimal berusaha mematut-matutkan diri agar dapat seperti mereka. Kita tengok masjid kita. Berapa banyak pemuda kita yang aktif jamaah di sana? Ketika Maghrib mungkin bisa dikatakan lumayan, tetapi bagaimana dengan Isya dan terlebih lagi Subuh? Juga dalam majelis taklim, sudahkah penuh oleh pemuda atau justru para tua?

Jika mau jujur, masjid-masjid kita selama ini lebih dipenuhi oleh kaum tua. Pemuda kita tampaknya belum begitu terpikat aktif di masjid. Warung kopi cukup ramai, sementara masjid sepi. Sungguh meresahkan. Padahal, kesediaan memakmurkan masjid adalah indikator keimanan seseorang.

“Sungguh yang memakmurkan masjid-masjid Allah hanya orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada apa pun) selain kepada Allah. Maka mudah-mudahan mereka termasuk orang-orang yang mendapat petunjuk” (QS at-Taubah [9]: 18).

Orang yang hatinya terpaut dengan masjid berarti dia berhasil menjaga stamina iman. Buat apa bicara muluk-muluk tentang agama kalau melaksanakan shalat jamaah di masjid secara rutin saja susah. Apa arti lulusan kampus terkenal kalau ke masjid saja enggan. Apa guna membaca buku segudang kalau mengaji Alquran saja jarang-jarang. Dalam hadis sahih, Rasulullah menegaskan bahwa di antara tujuh golongan yang kelak mendapat payung dari Allah di hari Mahsyar ialah orang yang hatinya tertambat di masjid.

Jadi, tidak sepatutnya pemuda Muslim meremehkan ibadah di masjid ini. Mengapa sering muncul pemuda nakal? Kadang malah sudah bodoh, bermasalah lagi. Menurut salah seorang pakar pendidikan, penyebabnya ada tiga. Pertama, dia jauh dari masjid. Kedua, dia jauh dari Kitab Suci. Ketiga, dia jauh dari orang alim. Benar. Dalam kenyataan sehari-hari, pemuda, bahkan siapa saja yang jauh dari ketiga hal itu, kerap kerontang motivasi iman dan ilmunya. Sering bertindak di luar kontrol agama dan moral karena memang kekurangan vitamin jiwa.

Terakhir, tapi tidak kalah penting, adalah selektif memilih teman. Tidak sedikit pemuda gagal juga disebabkan salah pilih teman. “Seseorang itu mengikuti agama temannya. Hendaklah setiap kamu memperhatikan siapa temannya,” ujar Rasulullah dalam hadis sahih. Maka, jangan lagi mengira bahwa memilih teman itu wujud sikap pongah. Sama sekali bukan. Memilih teman yang baik adalah ajaran Islam.

Kinilah saatnya masjid-masjid kita ramai oleh jamaah pemuda, bukan hanya kaum tua. Kita lakukan upaya-upaya di atas dengan ikhlas dan istiqamah. Menjadi baik, haruskah menunggu tua?

Sumber : Republika
 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 13/05/2016 inci tausyiah

 

Tauhid, Yang Pertama dan Utama

Tidak ada keraguan lagi bahwasanya tauhid memiliki kedudukan yang tinggi bahkan yang paling tinggi dalam Islam. Tauhid merupakan hak Allah yang paling besar atas hamba-hamba-Nya, sebagaimana dalam hadits yang terkenal dari shahabat yang mulia Mu’adz bin Jabal Radhiyallah ‘anhu  ketika Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam  bertanya kepadanya :

( يا معاذ ، أتدري ما حق الله على العباد وما حق العباد على الله ؟ ) قلت : الله ورسوله أعلم ؟ قال : ( حق الله على العباد أن يعبدوه ولا يشركوا به شيئا، وحق العباد على الله أن لا يعذب من لا يشرك به شيئا )

“Wahai Mu’adz, tahukah kamu apa hak Allah atas hamba-hamba-Nya dan hak hamba-hamba-Nya atas Allah?” Mu’adz menjawab: Allah dan rasul-Nya yang lebih mengetahui. Rasulullah Shallahu ‘alaihi wa Sallam bersabda : “hak Allah atas hamba-hamba-Nya adalah mereka beribada kepada-Nya dan tidak menyekutukan-Nya dengan sesuatu apapun.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Makna Tauhid adalah :

Upaya menyerahkan segala bentuk ibadah hanya kepada Allah ‘Azza wa Jalla Pencipta alam semesta, serta menjauhkan semua bentuk peribadahan kepada selain-Nya. Tauhid merupakan agama setiap Rasul ‘alaihimus salam. Allah Subhanahu wa Ta’ala yang telah mengutus mereka dengan membawa misi tauhid tersebut kepada setiap umat.

Di antara keutamaan tauhid adalah:

1. Tauhid merupakan pondasi utama dibangunnya segala amalan yang ada dalam agama ini.

Sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari shahabat ‘Abdullah bin Umar Radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersab :

بُنِيَ الإِسْلامُ عَلَى خَمْسٍ : شَهَادَةِ أَنْ لا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَأَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللهِ، وَإِقَامِ الصَّلاَةِ، وَإِيتَاءِ الزَّكَاةِ، وَصَوْمِ رَمَضَانَ وحَجِّ بَيْتِ اللهِ الحَرَام

“Agama Islam dibangun di atas lima dasar : (1) Syahadah bahwa tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah dan bahwa Muhammad adalah Rasulullah, (2) mendirikan shalat, (3) menunaikan zakat, (4) shaum di bulan Ramadhan (5) berhaji ke Baitullah Al-Haram.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

2. Tauhid merupakan perintah pertama kali di dalam Al Qur’an, sebagaimana lawan tauhid yaitu syirik yang merupakan larangan pertama kali di dalam Al Qur’an, yaitu firman Allah Subhanahu wa Ta’ala pada surat Al-Baqarah ayat 21-22 :

يَا أَيُّهَا النَّاسُ اعْبُدُوا رَبَّكُمُ الَّذِي خَلَقَكُمْ وَالَّذِينَ مِنْ قَبْلِكُمْ لَعَلَّكُمْ تَتَّقُونَ (21) الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ فِرَاشًا وَالسَّمَاءَ بِنَاءً وَأَنْزَلَ مِنَ السَّمَاءِ مَاءً فَأَخْرَجَ بِهِ مِنَ الثَّمَرَاتِ رِزْقًا لَكُمْ فَلَا تَجْعَلُوا لِلَّهِ أَنْدَادًا وَأَنْتُمْ تَعْلَمُونَ (22) [البقرة/21، 22]

“Wahai sekalian manusia, ibadahilah oleh kalian Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dan orang-orang sebelum kalian agar kalian menjadi orang-orang yang bertaqwa. Yang telah menjadikan untuk kalian bumi sebagai hamparan, langit sebagai bangunan, dan menurunkan air dari langit, lalu Allah mengeluarkan dengan air tersebut buah-buahan, sebagai rizki bagi kalian. Maka janganlah kalian menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah padahal kalian mengetahui.” (Al-Baqarah: 21-22)

Dalam ayat ini terdapat perintah Allah “ibadahilah Rabb kalian” dan larangan Allah “janganlah kalian menjadikan sekutu-sekutu bagi Allah”.

3. Tauhid merupakan poros utama dakwah seluruh para nabi dan rasul, sejak rasul yang pertama hingga penutup para rasul yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alahi wa Sallam, sebagaimana firman Allah Subhanahu wa Ta’ala :

وَلَقَدْ بَعَثْنَا فِي كُلِّ أُمَّةٍ رَسُولًا أَنِ اعْبُدُوا اللَّهَ وَاجْتَنِبُوا الطَّاغُوتَ [النحل/36]

“dan sungguh Kami telah mengutus pada setiap umat seorang rasul (yang menyeru) agar kalian beribadah kepada Allah dan menjauhi thaghut.” (An-Nahl: 36)

Allah Subhanahu wa Ta’ala juga berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ مِنْ رَسُولٍ إِلاَّ نُوحِي إِلَيْهِ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ أَنَا فَاعْبُدُونِ (25) [الأنبياء/25]

“Dan tidaklah Kami mengutus seorang rasul pun sebelum kamu, melainkan Kami wahyukan kepadanya : bahwasanya tidak ada yang berhak untuk diibadahi melainkan Aku, maka beribadahlah kalian kepada-Ku.” (Al Anbiya’: 25)

4. Tauhid merupakan perintah Allah yang paling besar dari semua perintah. Begitu pula lawan tauhid, yaitu syirik, merupakan larangan paling besar dari semua larangan.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ [الإسراء/23]

“Dan Rabbmu telah memutuskan agar kalian jangan beribadah kecuali kepada-Nya ” (Al Isra’: 23)

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman pula:

وَاعْبُدُوا اللهَ وَلاَ تُشْرِكُوا بِهِ شَيْئًا [النساء/36]

“Dan beribadahlah kepada Allah dan janganlah kalian menyekutukan-Nya dengan sesuatu pun.” (An Nisa’: 36)

Perintah untuk beribadah kepada Allah dan larangan berbuat syirik, Allah letakkan sebelum perintah-perintah lainnya. Menunjukkan bahwa perintah terbesar adalah Tauhid, dan larangan terbesar adalah syirik

5. Tauhid merupakan syarat masuknya seorang hamba ke dalam Al –Jannah (surga) dan terlindung dari An-Nar (neraka). Sebagaimana pula lawannya yaitu syirik merupakan sebab utama masuknya dan terjerumusnya seorang hamba ke dalam An Nar dan diharamkan dari Jannah Allah.

Allah berfriman:

إِنَّهُ مَنْ يُشْرِكْ بِاللَّهِ فَقَدْ حَرَّمَ اللَّهُ عَلَيْهِ الْجَنَّةَ وَمَأْوَاهُ النَّارُ وَمَا لِلظَّالِمِينَ مِنْ أَنْصَارٍ (72) [المائدة/72]

“Sesungguhnya barangsiapa yang menyekutukan Allah, maka Allah akan mengharamkan baginya Al Jannah dan tempat kembalinya adalah An-Nar dan tidak ada bagi orang-orang zhalim seorang penolongpun.” (Al Ma’idah: 72)

Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda:

مَنْ مَاتَ وَهُوَ يَعْلَمُ أَنَّهُ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللهُ دَخَلَ الْجَنَّةَ

“Barangsiapa yang mati dan dia mengetahui (berilmu) bahwa tidak ada ilah yang benar kecuali Allah, maka dia akan masuk ke dalam Al Jannah.” (HR. Muslim)

Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda pula sebagaimana yang diriwayatkan dari Jabir bin Abdillah radhiyallahu ‘anhu :

من لقي الله لا يشرك به شيئا دخل الجنة ، ومن لقيه يشرك به شيئا دخل النار

“Barangsiapa berjumpa dengan Allah dalam keadaan tidak berbuat syirik kepada-Nya dengan sesuatu apapun, dia akan masuk Al-Jannah dan barangsiapa yang berjumpa dengan Allah dalam keadaan bebruat syirik kepada-Nya, dia akan masuk An Nar.” (HR. Muslim)

6. Tauhid merupakan syarat diterimanya amal seseorang oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala.

Allah berfirman:

وَلَقَدْ أُوحِيَ إِلَيْكَ وَإِلَى الَّذِينَ مِنْ قَبْلِكَ لَئِنْ أَشْرَكْتَ لَيَحْبَطَنَّ عَمَلُكَ وَلَتَكُونَنَّ مِنَ الْخَاسِرِينَ (65) [الزمر/65]

“Sungguh telah diwahyukan kepadamu (Muhammad) dan orang-orang (para nabi) sebelummu, bahwa jika kamu berbuat syirik, niscaya batallah segala amalanmu, dan pasti kamu termasuk orang-orang yang merugi.” (Az-Zumar : 65)

Syirik merupakan sebab batal alias tertolaknya semua amalan. Maka lawan syirik, yaitu Tauhid merupakan syarat diterimanya amalan.

* * *

Dari penjelasan tentang keutamaan tauhid di atas, maka sangatlah jelas bahwa risalah para rasul adalah satu yaitu risalah tauhid. Tugas dan tujuan mereka adalah satu yaitu mengembalikan hak-hak Allah agar umat ini beribadah hanya kepada-Nya saja.

Ini merupakan dakwah para Rasul sejak rasul yang pertama yaitu Nabi Nuh ‘alahis salam hingga rasul yang terakhir yaitu Nabi Muhammad Shallallahu ‘alahi wa Sallam. Para rasul tersebut tidak hanya menuntut dari manusia agar mengakui dan mengimani bahwasanya Allah Subhanahu wa Ta’ala satu-satunya Dzat yang mencipta, memberi rizki, menghidupkan dan mematikan, akan tetapi para rasul tersebut juga menuntut dari umat manusia agar mereka mengakui dan mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala adalah satu-satu-Nya Dzat yang berhak dan layak untuk diibadahi, tidak ada sekutu bagi-Nya dalam hak peribadahan. Yakni mentauhidkan Allah dalam beribadah.

Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam sebagai suri tauladan yang baik bagi kita, memulai dakwah beliau dengan tauhid selama 13 tahun di Makkah dan mengingkari peribadahan kepada selain Allah, baik peribadahan kepada nabi, malaikat, wali, batu, pohon, dan sebagainya yang dilakukan oleh bangsa arab dan lainnya. Demikian pula setelah beliau hijrah, berdakwah di Madinah selama 10 tahun, beliau terus melanjutkan dakwah menuju kepada tauhid.

Begitu pula ketika beliau Shallallahu ‘alahi wa Sallam mengutus para shahabatnya untuk mendakwahi umat manusia, beliau memerintahkan kepada mereka untuk awal pertama kali yang harus disampaikan adalah dakwah tauhid Allah Subhanahu wa Ta’ala. Sebagaimana ketika beliau mengutus Mu’adz bin Jabal radhiyallahu ‘anhu ke negeri Yaman, beliau Shallallahu ‘alahi wa Sallam bersabda:

فليكن أول ما تدعوهم إليه شهادة أن لا إله إلا الله . وفي رواية- : إلى أن يوحدوا الله

“Maka pertama kali yang engkau dakwahkan kepada mereka adalah persaksian bahwasanya tidak ada yang berhak diibadahi kecuali Allah. Dan riwayat yang lain : dakwah agar mentauhidkan Allah.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim dari shahabat Abdullah bin Abbas radhiyallahu ‘anhuma)

Pada hadits ini terdapat dalil yang menunjukkan bahwasanya tauhid adalah kewajiban pertama dan utama untuk disampaikan kepada manusia, di mana Rasulullah Shallallahu ‘alahi wa Sallam memerintahkan kepada Mu’adz radhiyallahu ‘anhu untuk memulai dalam berdakwah dengan hal yang pertama dan utama untuk mereka.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 24/09/2012 inci Aqidah

 

Tag: ,

Meraih Kebahagiaan Hidup

Para pembaca yang berbahagia, tidak diragukan lagi bahwa setiap insan pasti mendambakan (pada dirinya) kebahagiaan hidup atau kehidupan yang baik.

Namun pandangan masing-masing orang tentang kebahagiaan hidup itu berbeda-beda. Sebagian orang ada yang memandang bahwa ukuran kebahagiaan adalah keberhasilan dalam meraih dunia dengan segala kelezatan hidupnya. Padahal tidaklah demikian hakikatnya.

Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya):

“Dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu: wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang-binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah-lah tempat kembali yang baik (surga).” [Ali ‘Imran: 14]

Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya):

“Allah meluaskan rezeki dan menyempitkannya bagi siapa yang Dia kehendaki. Mereka bergembira dengan kehidupan dunia, padahal kehidupan dunia itu (dibanding dengan) kehidupan akhirat, hanyalah kesenangan (yang sedikit).” [Ar-Ra’d: 26]

Inilah segolongan manusia yang sempit akal dan pandangannya. Mereka merasa heran dan kagum dengan kehidupan dunia dan mencukupkan semangat dirinya terhadap kehidupan dunia. Keadaan mereka yang seperti ini disebabkan oleh:

1.          Tidak ada pada dirinya keimanan kepada akhirat.

2.          Atau beriman kepada akhirat namun tersibukkan dirinya dengan urusan dunia.

Sehingga kehidupannya adalah kehidupan yang rugi dan celaka, walaupun ia diberikan kemudahan oleh Allah Subhanallahu wa Ta’ala untuk meraih harta, perhiasan dan berbagai kelezatan dunia, namun hakikatnya dia sedang mengalami istidraj (keleluasaan) dari Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Kemudian ia akan mengalami kerugian yang abadi.

Sebagaimana firman Allah Subhanallahu wa Ta’ala (artinya):

“Maka janganlah harta benda dan anak-anak mereka menarik hatimu. Sesungguhnya Allah menghendaki dengan (memberi) harta benda dan anak-anak itu untuk menyiksa mereka dalam kehidupan di dunia dan kelak akan melayang nyawa mereka, sedang mereka dalam keadaan kafir.” [At-Taubah: 55]

Sebagian ulama ahli tafsir mengatakan tentang ayat di atas: “Janganlah kamu tertipu terhadap harta benda dan anak-anak (yang Allah berikan kepada) orang kafir di kehidupan dunia, hanya saja Allah menghendaki yang demikian, agar Dia mengadzab mereka di akhirat kelak.” Inilah yang dinamakan dengan istidraj. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya):

“Apakah mereka mengira bahwa harta dan anak-anak yang Kami berikan kepada mereka itu (berarti bahwa) Kami bersegera memberikan kebaikan-kebaikan kepada mereka? tidak, sebenarnya mereka tidak sadar.” [Al Mu’minun: 55-56]

Allah Subhanallahu wa Ta’ala memberikan dunia kepada siapa saja yang Allah cintai dan yang tidak Allah cintai. Namun, tidaklah Allah memberikan agama ini, kecuali kepada siapa yang Allah Subhanallahu wa Ta’ala cintai. Sebesar apapun seseorang diberikan kekayaan dunia, niscaya lambat laun ia yang akan meninggalkan dunia atau dunia yang akan meninggalkannya.

“Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia ini hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megahan antara kamu serta berbangga-banggaan dengan banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian menjadi hancur. dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya. Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.” [Al Hadid: 20]

Mencari dunia terkait dengan kebutuhan hidup adalah sesuatu yang mulia jika dilakukan dalam rangka membantunya untuk taat kepada Allah. Karena dunia adalah ladang beramal untuk kehidupan di akhirat. Hanya saja, sikap yang tercela adalah menjadikan semangatnya yang tinggi untuk meraih dunia. Sehingga tidaklah ia mengarahkan pandangannya kecuali kepada dunia. Tidak peduli darimana ia mendapatkan harta dengan cara yang halal ataukah haram? Dialah sahabat dunia, yang telah menjadikan dunia sebagai tujuan utama dan semangat yang tinggi untuk mendapatkannya, dengan persangkaan bahwa dengannya akan tercapai kebahagiaan hidup.

Adapula yang memandang bahwa kebahagiaan hidup hanya bisa diraih dengan iman dan amal shalih dengan tetap mencari apa yang dibutuhkan dalam kehidupan dunia ini. Mereka mengatakan dalam doanya: “Wahai Rabb kami, berilah kami kebaikan di dunia dan akhirat dan lindungilah kami dari adzab neraka.” Mereka menggabungkan dalam doa mereka agar Allah memberikan kepada mereka kebaikan di dunia dan akhirat. Merekalah orang-orang yang akan mendapatkan kebahagiaan hidup. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya):

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, Maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” [An Nahl: 97]

Barangsiapa yang beramal shalih baik dari kalangan laki-laki atau perempuan dalam keadaan iman, maka Allah akan memberikan kepadanya kebahagiaaan hidup. Di dunia ia merasakan kebahagiaan hidup diatas iman, hatinya tenang, lapang dan senang. Mereka hidup dalam keadaan berzikir kepada Allah, merasakan kenikmatan dalam beribadah kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala. Kemudian di akhirat, Allah Subhanallahu wa Ta’ala akan memasukkan mereka ke dalam surga dan merasakan kelezatan di dalamnya, merasakan kenikmatan abadi yang tidak akan pernah terputus selama-lamanya. Tidak merasakan di dalamnya rasa sakit, takut kepada musuh, tidak ada perasaan gelisah yang menghantuinya, tidak ada dalam hatinya penyakit-penyakit hati, tidak akan pernah merasakan kematian dan sebagainya. Demikianlah ahlul jannah (penduduk surga), mereka merasakan kebahagiaan hidup yang hakiki.

Ibnu Taimiyah berkata: “Kebaikan, kebahagiaan, kesempurnaan, dan kedamaian, akan tercapai dengan dua hal: ilmu yang bermanfaat, dan amalan shalih.” (Majmu’ Al-Fatawa, 19/169)

Apabila engkau ingin merasakan kebahagiaan hidup, maka wajib bagimu untuk beramal shalih selama hidupmu. Carilah dunia yang akan membantumu untuk memperoleh akhirat. Carilah dunia secukupnya sekedar membantumu taat kepada Allah Subhanallahu wa Ta’ala.

Tips Meraih Ketenangan Hati

Melihat realita yang ada, beberapa orang yang notabene merupakan orang-orang yang terbilang sukses dalam dunianya dan memiliki kedudukan di mata publik, mereka menjadi pasien rohani di beberapa pondok pesantren. Kerasnya roda kehidupan dan jauhnya diri dari norma Islam yang benar, telah membuat hati mereka kering, sesak, risau, dan selalu didera rasa takut. Mereka tidak merasakan ketenangan hati dan seakan seperti terkucilkan dari pergaulan, sehingga membuat mereka stress, dan bahkan sampai membawa kepada perbuatan yang dilarang oleh agama yaitu bunuh diri. Demikianlah, wahai pembaca, kenyataan yang cukup memilukan. Oleh karena itu, sebagai bentuk kepedulian terhadap saudara-saudara kita yang mengalami musibah ini, kami nukilkan disini beberapa tips yang sangat mudah untuk diamalkan dalam meraih ketenangan hati. Asy-Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di menjelaskan dalam kitabnya “Al-Wasa`il Al-Mufidah lil Hayat As-Sa’idah”:

“Sesungguhnya kelapangan, ketenangan dan kegembiraan hati serta jauhnya hati dari perasaan sedih serta gundah gulana merupakan diantara sebab yang akan mengantarkan seseorang untuk meraih kebahagian hidup.”

“Sedangkan sebab terbesar untuk meraih kebahagiaan hidup adalah keimanan dan amalan shalih. Allah Subhanallahu wa Ta’ala berfirman (artinya):

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan.” [An Nahl: 97] (Lihat Al-Wasa`il Al-Mufidah lil Hayat As-Sa’idah, hal. 4)

Allah Subhanallahu wa Ta’ala telah memberikan kabar gembira dan janji mulia kepada orang-orang yang beriman dan beramal shalih berupa kebahagiaan hidup. Di dunia berupa ketenangan hati dan ketentraman jiwa serta anugerah dalam bentuk rezeki yang halal dari arah yang tidak disangka-sangka. Di akhirat dia akan mendapatkan kenikmatan yang belum pernah terlihat oleh mata, dan belum pernah terdengar oleh telinga serta belum pernah terbetik dalam hati seorang hamba, yaitu kenikmatan surga.

Dua hal pokok yaitu iman dan amalan shalih merupakan sebab terbesar untuk meraih kebahagiaan hidup. Karena seorang yang beriman kepada Allah dengan keimanan yang benar, akan membuahkan amalan yang shalih, yang akan memperbaiki hati, akhlak, dan kehidupannya di dunia dan di akhirat.

Beberapa hal yang perlu diamalkan dalam meraih ketenangan hati, disamping yang telah disebutkan di atas, adalah:

1.          Memperbanyak dzikir kepada Allah.

2.          Menyebut-nyebut kenikmatan yang Allah karuniakan dengan lisannya.

3.          Mengambil pelajaran dari kondisi orang yang di bawahnya dalam hal kenikmatan.

4.          Berbuat baik kepada sesama makhluk dengan ucapan, perbuatan dan segala macam kebaikan.

5.          Berkonsentrasi dalam melakukan amalan yang dilakukan pada hari ini dan jangan terlalu memikirkan (risau) terhadap waktu yang akan datang serta tidak boleh bersedih dari waktu yang telah berlalu.

6.          Berusaha untuk menolak sebab-sebab yang mendatangkan kesedihan, gundah-gulana dan yang semacamnya dengan cara melupakan segala pengalaman pahit yang pernah terjadi.

7.          Banyak berdoa kepada Allah agar diringankan segalal beban dunia dan diperbaiki segala urusan.

8.          Menyandarkan hati hanya kepada Allah dan bertawakal kepada-Nya.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 24/09/2012 inci tausyiah

 

Tag:

Fidyah Belum Dibayar, Bagaimana Solusinya?

Seorang ibu hamil bisa jadi tak sempat berpuasa karena menunggu kelahiran sang buah hati. Untuk membayarnya, sang ibu dapat mengqadha dan membayar fidyah. Namun, bagaimana jika hingga memasuki bulan Ramadhan, kewajiban fidyah itu belum ditunaikan?

 

Menurut Prof Dr KH Achmad Satori Ismail, Ketua Umum Ikatan Da’i Indonesia, menyebutkan orang hamil atau menyusui tidak boleh berbuka kecuali ada alasan syar’i, seperti akan mengakibatkan dirinya sakit dan khawatir akan kesehatan janin atau anaknya.

Bila berbuka, wajib menggantinya di hari yang lain. Ini tersirat dalam surah al-Baqarah ayat 185. Tetapi, kalau berbuka puasanya karena khawatir terhadap kesehatan janin, sebagian ulama mewajibkan qadha dan bayar fidyah. Sebagian ulama lain mewajibkan qadha saja tanpa fidyah. ”Jadi, kalau Anda sudah mengqadha tidak usah bayar fidyah lagi, kalau mengikuti pendapat yang terakhir,” ungkap Achmad dalam satu konsultasi.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 29/07/2012 inci Fatwa Qardhawi

 

Tag: , , , , ,

Wahai Muslimah, Wajah Cantik Saja tak Cukup, Inilah yang Penting

Paras cantik merupakan anugerah bagi perempuan. Sebagian perempuan memiliki wajah cantik dibandingkan lainnya. Namun, wajah yang elok saja tak cukup. Perempuan Muslim tak seharusnya terpaku pada kecantikan wajah, tetapi pada kecantikan budi yang menuntunnya menjadi perempuan salehah.

“Allah tak melihat pada bentuk fisik dan harta hamba-Nya, tetapi melihat hati dan amal perbuatannya,” kata Rasulullah dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim. Menurut Ibnu al-Qayyim, dengan perbuatan baik seorang perempuan akan mampu mempercantik batinnya.

Kecantikan batin, ucap dia, membuat bentuk fisik terlihat lebih cantik, walaupun paras dan fisik perempuan itu tak cantik. Itu akan terjadi sesuai dengan kadar kecantikan batin seorang perempuan Muslim. Abd al-Qadir Manshur dalam bukunya, Buku Pintar Fikih Wanita, mengatakan, sebaiknya perempuan menekankan juga pada kecantikan batin.

Sebuah nikmat yang besar jika perempuan Muslim berwajah cantik namun tak melupakan kecantikan batinnya. Ia tak menggunakan kecantikan itu untuk berbangga diri, bahkan membuatnya lalai bersyukur kepada Allah. “Jika kecantikan itu digunakan untuk bermaksiat, Allah akan menimpakan kehinaan kepadanya,” kata Manshur.

Rasulullah, jelas dia, meminta umatnya untuk mengimbangi kecantikan dan kebagusan fisiknya dengan perilaku yang baik dan ketaatan yang tinggi. Beliau menyatakan, umatnya diberi Allah fisik yang bagus dan sudah sepantasnya mereka memperbagus akhlaknya.

Dengan demikian, seorang perempuan yang mensyukuri kecantikan dirinya dengan mengabdi kepada Allah, maka perempuan itu telah beruntung. “Mereka yang menggunakan untuk hal yang bertentangan dengan hukum Allah, maka akan merugi dan menanggung dosa,” kata Manshur.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 29/07/2012 inci Akhlak

 

Tag: , , , , ,

Menyambung Rambut, Bolehkah?

‘Rambut adalah mahkota wanita’, demikian kata pepatah. Rambut menjadi elemen penting dalam mendukung penampilan seseorang, sehingga perawatan dan penataannya kerap menjadi perhatian utama sebagian kalangan, terlebih di zaman modern ini.

Teknik perawatan dan penataan rambut terus dikembangkan. Tiap tahun, selalu ada tren baru. Ya, tata rambut bahkan telah menjadi bagian gaya hidup sehari-hari.  Nah, untuk memenuhi kebutuhan ini, kalangan pengusaha bidang kecantikan, menawarkan beragam teknik perawatan dan penataan rambut panjang. Salah satunya adalah teknik sambung rambut.

Peminatnya banyak. Ada yang menyambung rambut hanya untuk mempercantik penampilan, atau lantaran terkena kerontokan rambut. Dan kini, salon yang menawarkan jasa sambung rambut kian bertebaran.

Sejatinya, teknik sambung rambut sudah ada sejak zaman dahulu kala. Para Muslimah di zaman Nabi Muhammad SAW telah mengenal sambung rambut, dan banyak pula yang menerapkannya.  Di antara mereka menyambungnya memakai rambut manusia, atau ada pula yang dengan rambut (bulu) hewan.

Karena semakin memasyarakat, Nabi SAW dan para sahabat pun sampai perlu membahas masalah ini secara khusus.  Terkait hal tersebut, para perawi terkemuka telah mencatatkan sejumlah hadis Nabi SAW. Ini sekaligus membuktikan begitu besar perhatian Rasul akhir zaman terhadap fenomena itu pada zamannya.

Rasulullah SAW pun segera melarang kaum wanita Muslimah untuk menyambung rambut mereka. Nabi bahkan menegaskan bahwa Allah SWT akan melaknat mereka yang melakukan perbuatan itu.  Dalam salah satu hadisnya, dari Asma RA bahwasanya ada seorang wanita bertanya kepada Rasulullah, ”Ya Rasulullah, sesungguhnya anakku yang perempuan terkena penyakit kulit lalu rontoklah rambutnya dan aku akan mengawinkannya, bolehkah kusambung rambutnya dengan rambut orang lain?”

Rasulullah bersabda, ”Allah melaknat orang yang menyambung rambut dan melaknat pula orang yang disambungkan.” (Mutafaq’alaih)  Petunjuk untuk tidak menyambung rambut sangatlah jelas, sehingga para ulama, dan ahli fikih menyimpulkan haram hukumnya memakai teknik ini.

”Mempertebal rambut dengan menambahinya dengan rambut lain hukumnya haram,” ujar Ibrahim Muhammad al-Jamal dalam buku Fiqih Wanita.  Menurutnya, yang bisa disamakan dengan menyambungan rambut itu adalah pemakaian wig dan sanggul palsu. Ketentuan ini bersifat umum baik bagi wanita yang telah bersuami ataupun belum.

Pandangan yang sama juga diungkapkan Imam Malik, para ulama mazhab Hanafi dan lainnya. Mereka bersepakat menyambung rambut dilarang, baik memakai rambut, wol, ataupun sobekan kain.

Jabir RA berkata, ”Nabi SAW melarang wanita menyambung rambut kepalanya dengan apapun juga.” Nabi bahkan mengingatkan, bahwa kaum Bani Israil binasa di kala kaum wanita mereka memakai rambut seperti itu (palsu).

Para ulama Syafi’i menambahkan, pelarangan menyambung rambut dengan rambut manusia, dikarenakan manusia termasuk dalam cakupan umum mengenai hadis-hadis mengenai masalah ini. Jadi memanfaatkan rambut manusia diharamkan demi kehormatan dan kemuliaan manusia itu sendiri.

Imam an-Nawawi dalam kitabnya yang populer Riyadlus Shalihin memandang upaya menyambung rambut dengan segala teknik dengan tujuan untuk mempercantik diri  sebagai perbuatan mengubah keaslian ciptaan Allah. Imam an-Nawawi menganggapnya sebagau perbuatan penipuan.

Umat juga dilarang menyambung rambut dengan rambut najis dari selain manusia, yaitu rambut bangkai dan rambut binatang yang haram dagingnya. ”Ini karena bercemara (menyambung rambut) dengan rambut jenis ini berarti dengan sengaja membawa najis,” Ibrahim Muhammad menegaskan.

Terkait penyambungan dengan rambut selain rambut manusia, ada perbedaan pandangan di sebagian kalangan ulama. Ada ulama yang berpendapat jika wanita itu menyambung rambutnya dengan rambut suci dari selain manusia, hukumnya tetap haram jika wanita itu tidak bersuami.

Namun bila wanita itu bersuami, dan sudah ada izin dari suaminya, maka dibolehkan. Sebaliknya, jika tidak ada izin dari suami, maka haram hukumnya.  Berbeda dengan pandangan Imam Ahmad dan al-Laits, yang hanya mengharamkan pemakaian cemara dengan memakai rambut lagi.

Adapun selain itu tidaklah haram.  ”Karena berarti wanita itu mempercantik diri demi suaminya, tanpa melakukan hal-hal yang membahayakan dan bertentangan dengan agama,” ungkap keduanya.

Contoh yang dikemukakan yakni penggunaan benang-benang sutera beraneka warna atau lainnya yang tidak menyerupai rambut. Muhammad Ibrahim menanggapi, ”Itu, ulama manapun sepakat tidak melarangnya, karena sebenarnya itu bukan cemara, melainkan perhiasan biasa.”

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 29/07/2012 inci Fatwa Qardhawi

 

Tag: , , , , ,

Pohon Rindang Sedekah

Bagaikan sebuah pohon yang rindang, sedekah paling tidak memiliki tujuh cabang. Masing-masing cabang tersebut saling terkait dan komprehensif dalam kesatuan.

Jika satu cabang dieksplorasi dengan melupakan enam cabang lainnya, maka yang muncul adalah keparsialan dan kekomprehensifannya akan hilang.

Sementara itu, jika semua cabang tersebut dijelaskan secara proporsional, yang muncul adalah keindahan, kesempurnaan dan kekomprehensifan makna sedekah.

Cabang pertama sedekah adalah mendahulukan keluarga dekat dibandingkan pihak lain. Mengenai hal ini, lebih dari dua belas kali Alquran menegaskan. Di antaranya firman Allah SWT (yang artinya), “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) dengan boros.” (QS. Al-Israa’: 26).

Penegasan yang sama juga dapat ditemui di dalam beberapa hadis, di antaranya sabda Rasul SAW: “Sedekah kepada orang miskin adalah satu sedekah dan sedekah kepada keluarga dekat adalah dua sedekah (yaitu) satu sedekah dan satu lagi penyambung tali persaudaraan.” (HR. Tirmidzi).

Cabang kedua, melakukan sedekah dengan moderat. Allah SWT mensifati hamba-hamba-Nya yang penyayang dengan beberapa kriteria, salah satunya sebagai berikut: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebihan dan tidak pula kikir, yang demikian itu adalah yang di tengah-tengah (moderat).” (QS. Al-Furqan: 67).

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al-Israa’: 29).

Cabang ketiga, sedekah dengan cara sembunyi-sembunyi lebih utama dibandingkan dengan terang-terangan. Hal tersebut semata-mata untuk menjauhkan diri dari sifat riya (pamer) dan menjaga keikhlasan. Memang diperbolehkan bersedekah terbuka untuk mendorong pihak lain ikut bersedekah, namun sedekah dengan cara tersebut umumnya kurang elok dan tidak jarang melebihi kepatutan.

Keempat, sedekah dilakukan di kala sehat bukan dalam keadaan sakit atau sekarat. Hal tersebut agar sedekah yang dilakukan benar dan rasional (QS. Al-Munafiqun: 10).

Kelima, mengetahui bahwa bersedekah hukumnya sunah dan di luar sedekah terdapat zakat yang hukumnya wajib. Dengan pengetahuan tersebut diharapkan seseorang yang telah memiliki harta cukup satu nisab dan dimiliki sempurna selama setahun dapat mendahulukan kewajiban zakat, kemudian melakukan berbagai sedekah dan bukan kebalikannya.

Keenam, sedekah memiliki banyak keutamaan (fadhilah). Diantaranya: memberikan rasa bahagia, mengobati penyakit hati, menjadikan harta bersih dan tumbuh, mendapat balasan kebaikan yang bersifat langsung di dunia, mendapatkan balasan tidak langsung di akhirat dan pelipatan pahala sedekah hingga tujuh ratus kali di sisi Allah SWT (QS Al-Baqarah: 261).

Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda, “Bersedekahlah kalian walau hanya dengan sebiji kurma, sebab sedekah dapat memenuhi kebutuhan orang yang lapar dan menghapus kesalahan sebagaimana air memadamkan api.” (HR. Tirmidzi).

Ketujuh, sedekah dapat dilakukan melalui berbagai cara tidak hanya dengan menginfakkan harta benda. Hal tersebut karena senyuman yang baik adalah sedekah, nasehat dan kata-kata yang baik adalah sedekah, nafkah yang kita berikan kepada anak dan istri adalah kewajiban dan juga sedekah, berbagi ilmu pengetahuan adalah sedekah dan lain sebagainya.

Dalam kaitan ini Rasulullah SAW bersabda, “Jauhilah api neraka walaupun hanya dengan (bersedekah) sebiji kurma, barang siapa yang tidak dapat mendapatkannya maka ia dapat (melakukannya) melalui perkataan yang baik.”(HR. Bukhari-Muslim).

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 26/07/2012 inci tausyiah

 

Tag: , , , ,

Tarawih, Bukan Pada Hitungan Rakaat

Tarawih merupakan shalat malam (qiyamul lail) di bulan Ramadhan. Tarawih berasal dari kata raahahyang berarti bersantai setelah empat rakaat.

Artinya shalat ini dapat dikerjakan tidak sekaligus dalam satu rangkaian, namun dapat disela-sela dengan kegiatan lain di luar shalat setelah menyelesaikan empat rakaat, empat rakaat.

Rasulullah SAW tercatat tiga kali melakukan shalat tarawih di masjid yang diikuti oleh para sahabat pada waktu lewat tengah malam. Khawatir shalat tarawih diwajibkan karena makin banyaknya sahabat yang turut berjamaah, pada malam ketiga Rasulullah SAW lalu menarik diri dari shalat tarawih berjamaah dan melakukannya sendiri di rumah.

Pada saat selesai shalat Subuh beberapa hari kemudian beliau menyampaikan konfirmasi, “Sesungguhnya aku tidak khawatir atas yang kalian lakukan pada malam-malam lalu, aku hanya takut jika kegiatan itu (tarawih) diwajibkan yang menyebabkan kalian tidak mampu melakukannya.” (HR. Bukhari).

Pada masa kekhalifahannya, Umar bin Khathab memerintahkan shalat tarawih berjamaah dengan imam Ubay bin Ka’ab sebanyak dua puluh tiga rakaat dan bacaan sekitar 200 ayat, setelah sekian lama para sahabat shalat sendiri-sendiri.

Kegiatan tersebut didasari oleh kemaslahatan bersama akan persatuan dan kesatuan kaum Muslim. Menyaksikan indahnya tarawih berjamaah lewat tengah malam, Umar bin Khathab berkata, “Ini adalah bid’ah yang paling nikmat.”

Pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, kegiatan shalat tarawih ditambah hingga 33 rakaat dengan alasan perbedaan kualitas ibadah kita dengan Rasulullah SAW. Namun, jumlah rakaat tarawih yang terakhir ini hanya masyhur pada zaman itu dan tidak popular hingga zaman kita saat ini.

Perbedaan jumlah rakaat tarawih disebabkan oleh tidak adanya batasan jumlah rakaat saat Rasulullah SAW melakukannya dalam tiga malam itu. Imam As-Syuyuthi menukil pernyataan Imam Al Taj As-Subhi berkata, “Tidak adanya batasan rakaat karena tarawih adalah shalat sunah. Yang mau sedikit (rakaatnya) silakan, yang mau banyak juga dipersilahkan.”

Di banyak negara, kita menjumpai kaum Muslimin melaksanakan shalat tarawih dengan delapan atau dua puluh rakaat. Di banyak masjid Maroko, shalat tarawih dua puluh rakaat dipecah menjadi dua bagian, yaitu setelah shalat Isya dengan delapan rakaat dan satu jam sebelum Subuh dengan dua belas rakaat plus tiga witir.

Di Indonesia, sekitar dua puluh tahun lalu, rakaat tarawih dapat dipakai untuk mengidentifikasi seseorang apakah dia NU atau Muhammadiyah. Jika shalat tarawihnya dua puluh rakaat, kita akan menyatakan bahwa dia NU. Sebaliknya jika delapan rakaat, dengan mudah kita akan mengatakan dia Muhammadiyah.

Namun saat ini, sejalan dengan pendalaman keagamaan masyarakat dan kemudahan mendapatkan akses informasi keagamaan, ukuran tersebut tidak lagi dapat dipakai untuk menentukan ke-NU-an maupun ke-Muhammadiyah-an.

Pasalnya, sudah banyak orang NU yang berpikir simpel, praktis dan ekonomis sehingga memilih delapan rakaat tarawih plus witir. Sebaliknya, banyak orang Muhammadiyah yang melebihi pemikiran ke-Muammadiyah-annya yang tidak hanya mencukupkan diri dengan delapan rakaat, melainkan dua puluh rakaat.

Tarawih adalah shalat sunah yang dapat dilakukan dengan banyak rakaat dan  banyak jeda istirahat. Jangankan dipecah menjadi dua kali, lebih dari dua pun tidak masalah asalkan menambah persaudaraan, kebersamaan, kerukunan dan persatuan umat. Maka sesungguhnya tidak ada ruang bagi kita untuk mempersoalkan rakaat shalat tarawih karena ia shalat sunah, apalagi jika dilakukan dengan visi membangun persatuan umat.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 26/07/2012 inci tausyiah

 

Tag: , , , , ,