RSS

Arsip Bulanan: Juli 2012

Fidyah Belum Dibayar, Bagaimana Solusinya?

Seorang ibu hamil bisa jadi tak sempat berpuasa karena menunggu kelahiran sang buah hati. Untuk membayarnya, sang ibu dapat mengqadha dan membayar fidyah. Namun, bagaimana jika hingga memasuki bulan Ramadhan, kewajiban fidyah itu belum ditunaikan?

 

Menurut Prof Dr KH Achmad Satori Ismail, Ketua Umum Ikatan Da’i Indonesia, menyebutkan orang hamil atau menyusui tidak boleh berbuka kecuali ada alasan syar’i, seperti akan mengakibatkan dirinya sakit dan khawatir akan kesehatan janin atau anaknya.

Bila berbuka, wajib menggantinya di hari yang lain. Ini tersirat dalam surah al-Baqarah ayat 185. Tetapi, kalau berbuka puasanya karena khawatir terhadap kesehatan janin, sebagian ulama mewajibkan qadha dan bayar fidyah. Sebagian ulama lain mewajibkan qadha saja tanpa fidyah. ”Jadi, kalau Anda sudah mengqadha tidak usah bayar fidyah lagi, kalau mengikuti pendapat yang terakhir,” ungkap Achmad dalam satu konsultasi.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 29/07/2012 inci Fatwa Qardhawi

 

Tag: , , , , ,

Wahai Muslimah, Wajah Cantik Saja tak Cukup, Inilah yang Penting

Paras cantik merupakan anugerah bagi perempuan. Sebagian perempuan memiliki wajah cantik dibandingkan lainnya. Namun, wajah yang elok saja tak cukup. Perempuan Muslim tak seharusnya terpaku pada kecantikan wajah, tetapi pada kecantikan budi yang menuntunnya menjadi perempuan salehah.

“Allah tak melihat pada bentuk fisik dan harta hamba-Nya, tetapi melihat hati dan amal perbuatannya,” kata Rasulullah dalam hadis yang diriwayatkan oleh Muslim. Menurut Ibnu al-Qayyim, dengan perbuatan baik seorang perempuan akan mampu mempercantik batinnya.

Kecantikan batin, ucap dia, membuat bentuk fisik terlihat lebih cantik, walaupun paras dan fisik perempuan itu tak cantik. Itu akan terjadi sesuai dengan kadar kecantikan batin seorang perempuan Muslim. Abd al-Qadir Manshur dalam bukunya, Buku Pintar Fikih Wanita, mengatakan, sebaiknya perempuan menekankan juga pada kecantikan batin.

Sebuah nikmat yang besar jika perempuan Muslim berwajah cantik namun tak melupakan kecantikan batinnya. Ia tak menggunakan kecantikan itu untuk berbangga diri, bahkan membuatnya lalai bersyukur kepada Allah. “Jika kecantikan itu digunakan untuk bermaksiat, Allah akan menimpakan kehinaan kepadanya,” kata Manshur.

Rasulullah, jelas dia, meminta umatnya untuk mengimbangi kecantikan dan kebagusan fisiknya dengan perilaku yang baik dan ketaatan yang tinggi. Beliau menyatakan, umatnya diberi Allah fisik yang bagus dan sudah sepantasnya mereka memperbagus akhlaknya.

Dengan demikian, seorang perempuan yang mensyukuri kecantikan dirinya dengan mengabdi kepada Allah, maka perempuan itu telah beruntung. “Mereka yang menggunakan untuk hal yang bertentangan dengan hukum Allah, maka akan merugi dan menanggung dosa,” kata Manshur.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 29/07/2012 inci Akhlak

 

Tag: , , , , ,

Menyambung Rambut, Bolehkah?

‘Rambut adalah mahkota wanita’, demikian kata pepatah. Rambut menjadi elemen penting dalam mendukung penampilan seseorang, sehingga perawatan dan penataannya kerap menjadi perhatian utama sebagian kalangan, terlebih di zaman modern ini.

Teknik perawatan dan penataan rambut terus dikembangkan. Tiap tahun, selalu ada tren baru. Ya, tata rambut bahkan telah menjadi bagian gaya hidup sehari-hari.  Nah, untuk memenuhi kebutuhan ini, kalangan pengusaha bidang kecantikan, menawarkan beragam teknik perawatan dan penataan rambut panjang. Salah satunya adalah teknik sambung rambut.

Peminatnya banyak. Ada yang menyambung rambut hanya untuk mempercantik penampilan, atau lantaran terkena kerontokan rambut. Dan kini, salon yang menawarkan jasa sambung rambut kian bertebaran.

Sejatinya, teknik sambung rambut sudah ada sejak zaman dahulu kala. Para Muslimah di zaman Nabi Muhammad SAW telah mengenal sambung rambut, dan banyak pula yang menerapkannya.  Di antara mereka menyambungnya memakai rambut manusia, atau ada pula yang dengan rambut (bulu) hewan.

Karena semakin memasyarakat, Nabi SAW dan para sahabat pun sampai perlu membahas masalah ini secara khusus.  Terkait hal tersebut, para perawi terkemuka telah mencatatkan sejumlah hadis Nabi SAW. Ini sekaligus membuktikan begitu besar perhatian Rasul akhir zaman terhadap fenomena itu pada zamannya.

Rasulullah SAW pun segera melarang kaum wanita Muslimah untuk menyambung rambut mereka. Nabi bahkan menegaskan bahwa Allah SWT akan melaknat mereka yang melakukan perbuatan itu.  Dalam salah satu hadisnya, dari Asma RA bahwasanya ada seorang wanita bertanya kepada Rasulullah, ”Ya Rasulullah, sesungguhnya anakku yang perempuan terkena penyakit kulit lalu rontoklah rambutnya dan aku akan mengawinkannya, bolehkah kusambung rambutnya dengan rambut orang lain?”

Rasulullah bersabda, ”Allah melaknat orang yang menyambung rambut dan melaknat pula orang yang disambungkan.” (Mutafaq’alaih)  Petunjuk untuk tidak menyambung rambut sangatlah jelas, sehingga para ulama, dan ahli fikih menyimpulkan haram hukumnya memakai teknik ini.

”Mempertebal rambut dengan menambahinya dengan rambut lain hukumnya haram,” ujar Ibrahim Muhammad al-Jamal dalam buku Fiqih Wanita.  Menurutnya, yang bisa disamakan dengan menyambungan rambut itu adalah pemakaian wig dan sanggul palsu. Ketentuan ini bersifat umum baik bagi wanita yang telah bersuami ataupun belum.

Pandangan yang sama juga diungkapkan Imam Malik, para ulama mazhab Hanafi dan lainnya. Mereka bersepakat menyambung rambut dilarang, baik memakai rambut, wol, ataupun sobekan kain.

Jabir RA berkata, ”Nabi SAW melarang wanita menyambung rambut kepalanya dengan apapun juga.” Nabi bahkan mengingatkan, bahwa kaum Bani Israil binasa di kala kaum wanita mereka memakai rambut seperti itu (palsu).

Para ulama Syafi’i menambahkan, pelarangan menyambung rambut dengan rambut manusia, dikarenakan manusia termasuk dalam cakupan umum mengenai hadis-hadis mengenai masalah ini. Jadi memanfaatkan rambut manusia diharamkan demi kehormatan dan kemuliaan manusia itu sendiri.

Imam an-Nawawi dalam kitabnya yang populer Riyadlus Shalihin memandang upaya menyambung rambut dengan segala teknik dengan tujuan untuk mempercantik diri  sebagai perbuatan mengubah keaslian ciptaan Allah. Imam an-Nawawi menganggapnya sebagau perbuatan penipuan.

Umat juga dilarang menyambung rambut dengan rambut najis dari selain manusia, yaitu rambut bangkai dan rambut binatang yang haram dagingnya. ”Ini karena bercemara (menyambung rambut) dengan rambut jenis ini berarti dengan sengaja membawa najis,” Ibrahim Muhammad menegaskan.

Terkait penyambungan dengan rambut selain rambut manusia, ada perbedaan pandangan di sebagian kalangan ulama. Ada ulama yang berpendapat jika wanita itu menyambung rambutnya dengan rambut suci dari selain manusia, hukumnya tetap haram jika wanita itu tidak bersuami.

Namun bila wanita itu bersuami, dan sudah ada izin dari suaminya, maka dibolehkan. Sebaliknya, jika tidak ada izin dari suami, maka haram hukumnya.  Berbeda dengan pandangan Imam Ahmad dan al-Laits, yang hanya mengharamkan pemakaian cemara dengan memakai rambut lagi.

Adapun selain itu tidaklah haram.  ”Karena berarti wanita itu mempercantik diri demi suaminya, tanpa melakukan hal-hal yang membahayakan dan bertentangan dengan agama,” ungkap keduanya.

Contoh yang dikemukakan yakni penggunaan benang-benang sutera beraneka warna atau lainnya yang tidak menyerupai rambut. Muhammad Ibrahim menanggapi, ”Itu, ulama manapun sepakat tidak melarangnya, karena sebenarnya itu bukan cemara, melainkan perhiasan biasa.”

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 29/07/2012 inci Fatwa Qardhawi

 

Tag: , , , , ,

Pohon Rindang Sedekah

Bagaikan sebuah pohon yang rindang, sedekah paling tidak memiliki tujuh cabang. Masing-masing cabang tersebut saling terkait dan komprehensif dalam kesatuan.

Jika satu cabang dieksplorasi dengan melupakan enam cabang lainnya, maka yang muncul adalah keparsialan dan kekomprehensifannya akan hilang.

Sementara itu, jika semua cabang tersebut dijelaskan secara proporsional, yang muncul adalah keindahan, kesempurnaan dan kekomprehensifan makna sedekah.

Cabang pertama sedekah adalah mendahulukan keluarga dekat dibandingkan pihak lain. Mengenai hal ini, lebih dari dua belas kali Alquran menegaskan. Di antaranya firman Allah SWT (yang artinya), “Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) dengan boros.” (QS. Al-Israa’: 26).

Penegasan yang sama juga dapat ditemui di dalam beberapa hadis, di antaranya sabda Rasul SAW: “Sedekah kepada orang miskin adalah satu sedekah dan sedekah kepada keluarga dekat adalah dua sedekah (yaitu) satu sedekah dan satu lagi penyambung tali persaudaraan.” (HR. Tirmidzi).

Cabang kedua, melakukan sedekah dengan moderat. Allah SWT mensifati hamba-hamba-Nya yang penyayang dengan beberapa kriteria, salah satunya sebagai berikut: “Dan orang-orang yang apabila membelanjakan (harta) mereka tidak berlebihan dan tidak pula kikir, yang demikian itu adalah yang di tengah-tengah (moderat).” (QS. Al-Furqan: 67).

Dalam ayat lain Allah SWT berfirman: “Dan janganlah kamu jadikan tanganmu terbelenggu pada lehermu dan janganlah kamu terlalu mengulurkannya karena itu kamu menjadi tercela dan menyesal.” (QS. Al-Israa’: 29).

Cabang ketiga, sedekah dengan cara sembunyi-sembunyi lebih utama dibandingkan dengan terang-terangan. Hal tersebut semata-mata untuk menjauhkan diri dari sifat riya (pamer) dan menjaga keikhlasan. Memang diperbolehkan bersedekah terbuka untuk mendorong pihak lain ikut bersedekah, namun sedekah dengan cara tersebut umumnya kurang elok dan tidak jarang melebihi kepatutan.

Keempat, sedekah dilakukan di kala sehat bukan dalam keadaan sakit atau sekarat. Hal tersebut agar sedekah yang dilakukan benar dan rasional (QS. Al-Munafiqun: 10).

Kelima, mengetahui bahwa bersedekah hukumnya sunah dan di luar sedekah terdapat zakat yang hukumnya wajib. Dengan pengetahuan tersebut diharapkan seseorang yang telah memiliki harta cukup satu nisab dan dimiliki sempurna selama setahun dapat mendahulukan kewajiban zakat, kemudian melakukan berbagai sedekah dan bukan kebalikannya.

Keenam, sedekah memiliki banyak keutamaan (fadhilah). Diantaranya: memberikan rasa bahagia, mengobati penyakit hati, menjadikan harta bersih dan tumbuh, mendapat balasan kebaikan yang bersifat langsung di dunia, mendapatkan balasan tidak langsung di akhirat dan pelipatan pahala sedekah hingga tujuh ratus kali di sisi Allah SWT (QS Al-Baqarah: 261).

Dalam sebuah hadis Rasulullah SAW bersabda, “Bersedekahlah kalian walau hanya dengan sebiji kurma, sebab sedekah dapat memenuhi kebutuhan orang yang lapar dan menghapus kesalahan sebagaimana air memadamkan api.” (HR. Tirmidzi).

Ketujuh, sedekah dapat dilakukan melalui berbagai cara tidak hanya dengan menginfakkan harta benda. Hal tersebut karena senyuman yang baik adalah sedekah, nasehat dan kata-kata yang baik adalah sedekah, nafkah yang kita berikan kepada anak dan istri adalah kewajiban dan juga sedekah, berbagi ilmu pengetahuan adalah sedekah dan lain sebagainya.

Dalam kaitan ini Rasulullah SAW bersabda, “Jauhilah api neraka walaupun hanya dengan (bersedekah) sebiji kurma, barang siapa yang tidak dapat mendapatkannya maka ia dapat (melakukannya) melalui perkataan yang baik.”(HR. Bukhari-Muslim).

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 26/07/2012 inci tausyiah

 

Tag: , , , ,

Tarawih, Bukan Pada Hitungan Rakaat

Tarawih merupakan shalat malam (qiyamul lail) di bulan Ramadhan. Tarawih berasal dari kata raahahyang berarti bersantai setelah empat rakaat.

Artinya shalat ini dapat dikerjakan tidak sekaligus dalam satu rangkaian, namun dapat disela-sela dengan kegiatan lain di luar shalat setelah menyelesaikan empat rakaat, empat rakaat.

Rasulullah SAW tercatat tiga kali melakukan shalat tarawih di masjid yang diikuti oleh para sahabat pada waktu lewat tengah malam. Khawatir shalat tarawih diwajibkan karena makin banyaknya sahabat yang turut berjamaah, pada malam ketiga Rasulullah SAW lalu menarik diri dari shalat tarawih berjamaah dan melakukannya sendiri di rumah.

Pada saat selesai shalat Subuh beberapa hari kemudian beliau menyampaikan konfirmasi, “Sesungguhnya aku tidak khawatir atas yang kalian lakukan pada malam-malam lalu, aku hanya takut jika kegiatan itu (tarawih) diwajibkan yang menyebabkan kalian tidak mampu melakukannya.” (HR. Bukhari).

Pada masa kekhalifahannya, Umar bin Khathab memerintahkan shalat tarawih berjamaah dengan imam Ubay bin Ka’ab sebanyak dua puluh tiga rakaat dan bacaan sekitar 200 ayat, setelah sekian lama para sahabat shalat sendiri-sendiri.

Kegiatan tersebut didasari oleh kemaslahatan bersama akan persatuan dan kesatuan kaum Muslim. Menyaksikan indahnya tarawih berjamaah lewat tengah malam, Umar bin Khathab berkata, “Ini adalah bid’ah yang paling nikmat.”

Pada masa khalifah Umar bin Abdul Aziz, kegiatan shalat tarawih ditambah hingga 33 rakaat dengan alasan perbedaan kualitas ibadah kita dengan Rasulullah SAW. Namun, jumlah rakaat tarawih yang terakhir ini hanya masyhur pada zaman itu dan tidak popular hingga zaman kita saat ini.

Perbedaan jumlah rakaat tarawih disebabkan oleh tidak adanya batasan jumlah rakaat saat Rasulullah SAW melakukannya dalam tiga malam itu. Imam As-Syuyuthi menukil pernyataan Imam Al Taj As-Subhi berkata, “Tidak adanya batasan rakaat karena tarawih adalah shalat sunah. Yang mau sedikit (rakaatnya) silakan, yang mau banyak juga dipersilahkan.”

Di banyak negara, kita menjumpai kaum Muslimin melaksanakan shalat tarawih dengan delapan atau dua puluh rakaat. Di banyak masjid Maroko, shalat tarawih dua puluh rakaat dipecah menjadi dua bagian, yaitu setelah shalat Isya dengan delapan rakaat dan satu jam sebelum Subuh dengan dua belas rakaat plus tiga witir.

Di Indonesia, sekitar dua puluh tahun lalu, rakaat tarawih dapat dipakai untuk mengidentifikasi seseorang apakah dia NU atau Muhammadiyah. Jika shalat tarawihnya dua puluh rakaat, kita akan menyatakan bahwa dia NU. Sebaliknya jika delapan rakaat, dengan mudah kita akan mengatakan dia Muhammadiyah.

Namun saat ini, sejalan dengan pendalaman keagamaan masyarakat dan kemudahan mendapatkan akses informasi keagamaan, ukuran tersebut tidak lagi dapat dipakai untuk menentukan ke-NU-an maupun ke-Muhammadiyah-an.

Pasalnya, sudah banyak orang NU yang berpikir simpel, praktis dan ekonomis sehingga memilih delapan rakaat tarawih plus witir. Sebaliknya, banyak orang Muhammadiyah yang melebihi pemikiran ke-Muammadiyah-annya yang tidak hanya mencukupkan diri dengan delapan rakaat, melainkan dua puluh rakaat.

Tarawih adalah shalat sunah yang dapat dilakukan dengan banyak rakaat dan  banyak jeda istirahat. Jangankan dipecah menjadi dua kali, lebih dari dua pun tidak masalah asalkan menambah persaudaraan, kebersamaan, kerukunan dan persatuan umat. Maka sesungguhnya tidak ada ruang bagi kita untuk mempersoalkan rakaat shalat tarawih karena ia shalat sunah, apalagi jika dilakukan dengan visi membangun persatuan umat.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 26/07/2012 inci tausyiah

 

Tag: , , , , ,

Meraih Pujian Allah SWT

Hampir semua nabi dan rasul yang mendapatkan pujian dari Allah SWT selalu terkait dengan sifat shiddiq, yaitu jujur dan benar. Baik dalam pemikiran, perkataan, maupun tingkah laku keseharian.

Tidak ada perbedaan, apalagi pertentangan antara yang di ucapkan dan yang dilakukan. Sifat dan karakter inilah yang sangat dicintai Allah dan menghantarkan kesuksesan para nabi dan rasul tersebut di dalam melaksanakan misi dari risalah kenabiannya.

“Ceritakanlah (hai Muhammad) kisah Ibrahim di dalam al-Kitab (Alqur an) ini. Sesungguhnya ia adalah seorang yang sangat benar (jujur) lagi seorang Nabi.” (QS Maryam [19]: 41). Lihat juga dalam ayat 54-57 tentang kejujuran Ismail dan Idris AS.

Karena itu, para ulama menempatkan empat karakter dan sifat yang wajib melekat pada setiap pribadi nabi dan rasul dengan shiddiq (jujur), amanah (bertanggung jawab), fathanah(cerdas), dan tabligh (menyampaikan risalah Islamiyah kepada umat manusia dengan penuh kesungguhan).

Meskipun keempat sifat dan karakter tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak bisa dipisahkan, kejujuran sebagai sumber utamanya. Rasulullah menganjurkan umatnya—apalagi jika kita menjadi pemimpin—untuk senantiasa jujur dalam segala hal. Tidak boleh ada dusta, tidak boleh ada kepura-puraan, dan tidak boleh melakukan pengkhianatan.

“Kalian harus berlaku jujur karena kejujuran itu akan membimbing pada kebaikan. Dan, kebaikan itu akan membimbing ke surga. Seseorang yang senantiasa berlaku jujur dan memelihara kejujuran, maka ia akan dicatat sebagai orang yang jujur di sisi Allah. Dan hindarilah dusta, karena kedustaan itu akan menggiring pada kejahatan dan kejahatan itu akan menjerumuskan ke neraka. Seseorang yang senantiasa berdusta dan memelihara kedustaan, maka ia akan dicatat sebagai pendusta di sisi Allah.” (HR Muslim).

Korupsi yang merajalela saat ini di berbagai instansi dan level atau tingkat an, penyebab utamanya adalah karena hilangnya sifat kejujuran dari sebagian masyarakat kita, terutama orang-orang yang mendapatkan amanah jabatan pub lik. Dengan demikian, sebagian masyarakat merasakan kegelisahan, ketakutan, dan pertentangan satu dengan yang lainnya akibat dari tercerabutnya sifat yang mulia tersebut (jujur).

Bagi orang yang beriman (apa pun posisi dan jabatannya), meskipun tantangannya sangat berat untuk memiliki dan menguatkan sifat jujur dan benar dalam segala hal, harus tetap ditumbuhkembangkan dan diperkuat sehingga menjadi struktur kepribadian yang melekat pada pribadinya.

Karena, jujur itu akan mengundang kasih sa yang dan pujian dari Allah SWT, yang dampaknya akan dirasakan dalam kehidupan di dunia ini berupa ketenangan, kedamaian, dan kesuksesan. Dan, di akhirat nanti akan mendapatkan surga- Nya. “Hai orang-orang yang beriman, ber takwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama dengan orang-orang yang jujur (benar).” (QS at-Taubah [9]: 119).

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 26/07/2012 inci tausyiah

 

Tag: , , , , ,

Inilah Keutamaan Zikir

Ibnu Abbas RA meriwayatkan, zikir kepada Allah merupakan ibadah terbesar dibandingkan ibadah lainnya. Bahkan, Allah SWT memberikan jaminan langsung kepada hamba-hamba-Nya yang senantiasa berzikir kepada-Nya. “Ingatlah kamu kepada-Ku, niscaya Aku ingat (pula) kepadamu.” (QS al-Baqarah [2]: 152).

Zikir adalah satu amal ibadah yang sangat strategis bagi umat Islam untuk berkomunikasi dengan Allah SWT. Dengan berzikir, Allah pun langsung mengingat kita. Karena itu, semakin banyak kita mengingat Allah, semakin kuat pula Allah mengingat kita. Dalam Alquran, Allah memerintahkan umat Islam untuk senantiasa memperbanyak zikir kepada-Nya. “Hai orang-orang yang beriman, berzikirlah (dengan menyebut nama) Allah, zikir yang sebanyak-banyaknya.” (QS al-Ahzab [33]: 41).

Zikir harus dilakukan setiap saat, kapan pun, di mana pun, dan dalam keadaan bagaimanapun. Karena, Allah akan memberikan beragam keutamaan kepada orang yang banyak mengingat-Nya. Bahkan, Allah akan memberikan sesuatu yang lebih baik kepada ahli zikir.

Dalam Hadis Qudsi, Allah SWT berfirman, “Siapa yang menyibukkan diri dengan mengingat-Ku, daripada meminta kepada-Ku, maka Aku akan memberikan kepadanya sesuatu yang lebih baik dari yang diberikan kepada orang yang meminta.” (HR Bukhari).

Karena itu, pantaslah jika seorang sahabat Nabi, Muadz bin Jabal, berkata, “Penghuni surga tidak menyesali apa pun selain waktu yang mereka lewatkan tanpa berzikir kepada Allah.” Subhanallah, sedemikian agungnya faedah zikrullah. Masihkah kita enggan untuk melakukannya?

Rasanya, tak seorang Muslim pun yang tidak mengerti tentang zikir. Tetapi dalam praktiknya, mayoritas umat Islam masih enggan untuk melakukannya. Hal ini bisa kita saksikan dari semakin banyaknya huru-hara, tawuran antarwarga, pencurian, perjudian, penipuan, dan korupsi.

Fakta yang paling nyata adalah masih banyak umat Islam yang interaksinya dengan Alquran dan masjid sangat kurang dan memprihatinkan. Padahal, seorang Muslim akan terjamin mampu melakukan zikir dengan benar dan konsisten manakala dirinya memiliki interaksi yang baik dengan Alquran dan masjid.

Hanya dengan Alquran, seorang Muslim akan memperoleh kebahagiaan. Dan, hanya melalui Masjid seorang Muslim dapat dikatakan benar-benar beriman. Itulah mengapa bangunan yang pertama dibangun oleh Rasulullah SAW adalah masjid.

“Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, serta tetap mendirikan shalat, menunaikan zakat, dan tidak takut (kepada siapa pun) selain kepada Allah. Maka, merekalah orang-orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS at-Taubah [9]: 18).

Menyongsong bulan suci Ramadhan kali ini, akan sangat baik jika seluruh umat Islam berbondong-bondong menyambut bulan penuh berkah ini dengan banyak berzikir kepada Allah dengan senantiasa menadaburi Alquran dan memakmurkan rumah Allah (masjid). Hanya dengan Alquran dan masjid, insya Allah keutamaan zikir akan kita dapatkan dengan sempurna. Aamiin.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 26/07/2012 inci tausyiah

 

Tag: , ,

Inilah 9 Makna Penting Ramadhan

Kata “Ramadhan” merupakan bentuk mashdar (infinitive) yang terambil dari kata ramidhayarmadhu yang pada mulanya berarti membakar, menyengat karena terik, atau sangat panas. Dinamakan demikian karena saat ditetapkan sebagai bulan wajib berpuasa, udara atau cuaca di Jazirah Arab sangat panas sehingga bisa membakar sesuatu yang kering.

Selain itu, Ramadhan juga berarti ‘mengasah’ karena masyarakat Jahiliyah pada bulan itu mengasah alat-alat perang (pedang, golok, dan sebagainya) untuk menghadapi perang pada bulan berikutnya. Dengan demikian, Ramadhan dapat dimaknai sebagai bulan untuk ‘mengasah’ jiwa, ‘mengasah’ ketajaman pikiran dan kejernihan hati, sehingga dapat ‘membakar’ sifat-sifat tercela dan ‘lemak-lemak dosa’ yang ada dalam diri kita.

Ramadhan yang setiap tahun kita jalani sangatlah penting dimaknai dari perspektif nama-nama lain yang dinisbatkan kepadanya. Para ulama melabelkan sejumlah nama pada Ramadhan.

Pertama, Syahr al-Qur’an (bulan Alquran), karena pada bulan inilah Alquran pertama kali diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Selain itu, kitab-kitab suci yang lain: Zabur, Taurat, dan Injil, juga diturunkan pada bulan yang sama.

Kedua, Syahr al-Shiyam (bulan pua sa wajib), karena hanya Ramadhan me ru pakan bulan di mana Muslim diwajibkan berpuasa selama sebulan penuh. Dan hanya Ramadhan, satu-satunya, nama bulan yang disebut dalam Alquran. (QS al-Baqarah [2]: 185).

Ketiga, Syahr al-Tilawah (bulan membaca Alquran), karena pada bulan ini Jibril AS menemui Nabi SAW untuk melakukan tadarus Alquran bersama Nabi dari awal hingga akhir. Keempat, Syahr al-Rahmah (bulan penuh limpah an rahmat dari Allah SWT), karena Allah menurunkan aneka rahmat yang tidak dijumpai di luar Ramadhan. Pintu-pintu kebaikan yang mengantarkan kepada surga dibuka lebar-lebar.

Kelima, Syahr al-Najat (bulan pembebasan dari siksa neraka). Allah menjanjikan pengampunan dosa-dosa dan pembebesan diri dari siksa api neraka bagi yang berpuasa karena iman dan semata-mata mengharap ridha-Nya. Ke enam, Syahr al-’Id(bulan yang berujung/ berakhir dengan hari raya). Ramadhan disambut dengan kegembiraan dan diakhiri dengan perayaan Idul Fitri yang penuh kebahagiaan juga, termasuk para fakir miskin

Ketujuh, Syahr al-Judd (bulan kedermawanan), karena bulan ini umat Islam dianjurkan banyak bersedekah, terutama untuk meringankan beban fakir dan miskin. Nabi SAW memberi keteladanan terbaik sebagai orang yang paling dermawan pada bulan suci.

Kedelapan, Syahr al-Shabr (bulan kesabaran), karena puasa melatih seseorang untuk bersikap dan berperilaku sabar, berjiwa besar, dan tahan ujian.

Kesembilan, Syahr Allah (bulan Al lah), karena di dalamnya Allah melipatgandakan pahala bagi orang berpuasa.

Jadi, Ramadhan adalah bulan yang sangat sarat makna yang kesemuanya bermuara kepada kemenangan, yaitu: kemenangan Muslim yang berpuasa dalam melawan hawa nafsu, egositas, keserakahan, dan ketidakjujuran. Sebagai bulan jihad, Ramadhan harus dimaknai dengan menunjukkan prestasi kinerja dan kesalehan individual serta sosial.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 26/07/2012 inci tausyiah

 

Tag: , , , , ,

Tiga Langkah Sebelum Pintu Tobat Tertutup

Sebusuk apa pun maksiat yang telah dilakukan dan sebanyak apa pun dosa yang telah diperbuat, bila manusia kembali kepada jalan Allah maka Allah SWT akan menerima tobatnya. Bahkan, terhadap orang yang kafir sekalipun, bila ia memeluk agama Islam, Allah akan mengampuni segala dosanya.

Pintu tobat senantiasa terbuka. Dan, Allah SWT akan senantiasa menanti kedatangan hamba-Nya yang akan bertobat. Namun demikian, tidak selamanya pintu tobat terbuka. Ada saatnya pintu tersebut tertutup rapat, terutama pada dua keadaan.

Pertama, ketika nyawa manusia sudah berada di tenggorokan. Rasulullah SAW bersabda, “Sesungguhnya Allah yang Mahamulia lagi Mahaagung menerima tobat seseorang sebelum nyawanya sampai di tenggorokan.” (HR Tirmidzi).

Kedua, ketika matahari terbit dari tempat terbenamnya. Rasulullah SAW bersabda, “Barang siapa bertobat sebelum matahari terbit dari barat, niscaya Allah menerima tobatnya.” (HR Muslim).

Bila pintu tobat telah tertutup maka penyesalan, permohonan ampunan, perbuatan baik, dan keimanan orang kafir tidak akan bermanfaat lagi. Sebab, Allah SWT tidak akan menerimanya. “Yang mereka nanti-nanti tidak lain hanyalah kedatangan malaikat kepada mereka (untuk mencabut nyawa mereka), atau kedatangan Tuhanmu atau kedatangan sebagian tanda-tanda Tuhanmu. Pada hari datangnya sebagian tanda-tanda Tuhanmu tidaklah bermanfaat lagi iman seseorang bagi dirinya sendiri yang belum beriman sebelum itu, atau dia (belum) mengusahakan kebaikan dalam masa imannya. Katakanlah: “Tunggulah olehmu, sesungguhnya kami pun menunggu (pula).” (QS al-An’am [6]: 158).

Hal ini harus menjadi perhatian kita untuk tidak menunda-nunda dalam bertobat. Sebab, bila tidak segera dilakukan maka bukan tidak mungkin hal itu akan menenggelamkan kita pada kemaksiatan yang pada akhirnya diri kita akan menganggap baik setiap sesuatu yang buruk.

Selagi kita hidup di dunia, mari kita gunakan kesempatan ini untuk menyikapi bersiap diri sebelum pintu tobat tertutup.

Pertama, bersegera melakukan tobat. “Sesungguhnya tobat di sisi Allah hanyalah tobat bagi orang-orang yang mengerjakan kejahatan lantaran kejahilan, yang kemudian mereka bertobat dengan segera, maka mereka itulah yang diterima Allah tobatnya; dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana.” (QS An-Nisa [4]: 17).

Kedua, bersegera melakukan berbagai macam kebaikan sebelum datangnya masa yang menyebabkan kita sulit untuk melakukan kebaikan. Rasulullah SAW bersabda, “Bersegeralah kalian untuk mengerjakan amal-amal saleh, karena akan terjadi berbagai fitnah yang menyerupai malam yang gelap gulita.” (HR Muslim dan Tirmidzi).

Ketiga, berusaha meningkatkan ketakwaan kepada Allah SWT. Dengan takwa kita akan diberi kemampuan untuk membedakan yang benar dan salah. (QS al-Anfaal [8]: 29).

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 26/07/2012 inci tausyiah

 

Tag: , , , ,

Fatwa Qardhawi: Puasa Tapi tidak Shalat, Sahkah?

Apakah puasa orang yang meninggalkan shalat diterima? Atau, apakah ibadah-ibadah itu saling berkaitan sehingga yang satu tidak diterima apabila yang lain ditinggalkan?

Pertanyaan seperti ini sering muncul di kalangan masyarakat. Sebagaimana hal ini juga pernah ditanyakan kepada Syekh Yusuf Qardhawi.

Qardhawi menjelaskan bahwa setiap Muslim dituntut untuk melaksanakan ibadah secara keseluruhan, yaitu menegakkan shalat, mengeluarkan zakat, berpuasa pada bulan Ramadhan, menunaikan haji ke Baitullah bagi yang mampu.

Barangsiapa yang meninggalkan salah satu dari kewajiban-kewajiban ini tanpa uzur, dia telah melanggar perintah Allah.

Mengenai masalah ini para ulama Islam berbeda pendapat. Ada yang berpendapat kafir terhadap orang yang meninggalkan salah satunya, ada yang menganggap kafir terhadap orang yang meninggalkan shalat dan tidak mengeluarkan zakat, dan ada pula yang menganggap kafir terhadap orang yang meninggalkan shalat saja mengingat kedudukannya yang sangat penting dalam agama.

Sebagaimana hadis Rasulullah SAW,  “(Hal yang membedakan) antara seseorang dengan kekafiran ialah meninggalkan shalat.” (HR. Muslim).

Mereka yang mengafirkan orang yang meninggalkan shalat beranggapan bahwa puasa orang yang meninggalkan shalat tidak diterima Allah. Alasannya, ibadah orang kafir sama sekali tidak diterima Allah.

Selain itu, ada pula yang berpendapat bahwa orang tersebut masih tetap dalam keadaan iman dan Islam selama dia masih membenarkan Allah dan Rasul-Nya beserta semua ajaran yang beliau bawa, dengan tidak mengingkarinya atau meragukannya.

Mereka hanya menyifati orang tersebut durhaka terhadap perintah Allah. Barangkali pendapat ini merupakan pendapat yang paling adil dan paling mendekati kebenaran.

Jadi, orang yang tidak memenuhi sebagian kewajiban karena malas atau karena mengikuti hawa nafsunya tetapi tidak mengingkari dan meremehkan ajaran Allah serta masih melaksanakan sebagian kewajiban yang lain, masih tetap dianggap orang Islam meskipun Islamnya tidak sempurna dan imannya lemah.

Memang dikhawatirkan imannya akan bertambah rusak bila ia terus menerus meninggalkan sebagian kewajiban tersebut. Tetapi Allah tidak akan menyia-nyiakan pahala amal kebajikan yang dilakukan seseorang, bahkan yang bersangkutan berhak mendapatkan pahala di sisi Allah.

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 22/07/2012 inci Fatwa Qardhawi

 

Tag: , , , , ,