RSS

Arsip Bulanan: Juli 2011

Dalam Islam Pendidikan Ibarat Bercocok Tanam


Dalam bahasa Arab, istilah pendidikan disebut tarbiyah, sebuah kata yang sarat makna yang masih seakar dengan kata riba (uang yang selalu berkembang), rabwah (tanah tinggi), dan rabb (sifat Allah yang senantiasa memelihara, mencintai, dan mendidik).

Pendidikan Islam secara umum adalah upaya sistematis untuk membantu anak didik agar tumbuh berkembang mengaktualkan potensinya berdasarkan kaidah-kaidah moral Alquran, ilmu pengetahuan, dan keterampilan hidup. Dengan ungkapan normatif keagamaan, pendidikan berfungsi memfasilitasi agar seseorang tumbuh menjadi pribadi yang hidup berlandaskan tauhid atau abdullah. Secara vertikal, pribadi demikian hanya mau bersujud di hadapan kebesaran Allah, menyatakan haram menyembah sosok manusia ataupun jabatan.

Jika seseorang telah menjadi abdullah, dia juga memiliki misi sebagai khalifatullah untuk mewujudkan sifat Ilahi dalam aktivitas hidupnya. Sistem sekolah adalah salah satu bagian saja dari sebuah proses pendidikan yang cakupannya begitu luas dan prosesnya berlangsung sepanjang hayat.

Disayangkan, ada kecenderungan pemahaman dan proses pendidikan ini telah direduksi menjadi sebuah sekolah di ruang tertutup yang mengandalkan kurikulum serta tatap muka antara guru dan murid di kelas. Rendahnya mutu pendidikan nasional berakibat langsung pada rendahnya mutu SDM umat Islam.

Apalagi citra pelajar tengah terganggu oleh citra negatif, baik yang dikaitkan dengan narkoba, perkelahian, budaya menyontek, maupun pergaulan bebas. Ini semua membuat potret dunia pendidikan di Indonesia kelihatan suram dan pesimistis.

Sesungguhnya dunia pesantren memiliki aset dan dimensi pendidikan yang amat berharga untuk memajukan pendidikan dan memberdayakan potensi masyarakat. Sayangnya, potensi unggul pesantren yang begitu murah, merakyat, dan mengajarkan keterampilan hidup kurang diapresiasi dan didukung secara optimal dengan memasukkan komponen modern.

Kita perlu merenung, berapa banyak energi umat Islam telah terbuang untuk hal-hal yang tidak produktif. Konflik sektarian telah menguras aset umat Islam, sementara dunia pendidikan telantar. Islam tidak lagi menjadi pusat peradaban dunia karena perhatian kita semakin kecil dalam upaya mengembangkan lembaga keilmuan, riset, dan peradaban.

Kita mesti hemat dalam membelanjakan uang pribadi maupun negara, kecuali dalam satu hal, yaitu pendidikan. Itulah yang dilakukan Korea Selatan dan Malaysia yang telah dimulai pada dekade 1970-an dan kini mereka menuai hasilnya. Sementara itu, Indonesia lebih senang membangun beton-beton dan hidup konsumtif-koruptif.

Membangun generasi, sedikitnya memerlukan waktu 20-25 tahun, sebagaimana dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW. Artinya, selama masa penantian itu kita harus kerja keras merawat “tanaman” kita sambil berpuasa; menahan diri dari hidup mewah. Kalau gaya hidup konsumtif-koruptif terus berlanjut sehingga investasi manusia melalui program pendidikan tetap telantar, tak ayal ini artinya kita tengah menghancurkan rumah bangsa sendiri. Hancurnya peradaban dunia disebabkan minimnya kepedulian kita pada pengembangan pusat-pusat pendidikan yang bermutu.

Oleh KH Said Aqiel Siradj

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 23/07/2011 inci tausyiah hati

 

Bekas Sujud, Tak Sekadar Tanda Kehitaman di Dahi


Diriwayatkan dari Rabi’ah bin Ka’b bahwa ia berkata, “Aku menginap bersama Nabi SAW dan membantu beliau untuk menyiapkan air wudhunya dan kebutuhan lainnya.” Kemudian, Rasulullah bersabda, “Mintalah sesuatu kepadaku.” Aku menjawab, “Aku mohon agar bisa menemanimu di surga.” Beliau menjawab, “Bukan lainnya?” Aku berkata, “Hanya itu saja. Lalu, Nabi SAW bersabda, “Bantulah aku untuk dirimu dengan memperbanyak sujud.” (HR Ahmad, Muslim, An Nasai, dan Abu Daud).

Hadis ini menganjurkan kita untuk memperbanyak sujud, ruku, dan mendirikan shalat wajib ditambah dengan tathawwu’ (shalat sunat) bila kita ingin masuk surga.

Sujud merupakan ibadah istimewa dalam Islam, karena merupakan salah satu rukun shalat dengan cara meletakkan tujuh anggota badan di atas tanah (muka, dua telapak tangan, dua lutut, dan dua ujung kaki). Posisi demikian mencerminkan sikap merendah di hadapan keagungan Ilahi. Allah menegaskan, “Sujudlah dan dekatkanlah (dirimu kepada Tuhan).” (QS Al-‘Alaq: 19).

Sujud akan menanamkan ketawadhuan dalam diri kepada sesama manusia dan memancarkan sinar keimanan dan kelembutan melalui wajahnya. Inilah bekas sujud yang diharapkan sebagai amalan penolong masuk surga.

Mi’dan bin Abi Tholhah berkata, “Aku bertemu Tsauban, budak Rasulullah SAW.” Lalu, dia bertanya, “Beritahukan kepadaku amalan yang bila aku lakukan maka Allah akan memasukkanku dengannya ke dalam surga.” Tsauban diam. Lalu, aku tanya lagi, tapi dia masih diam dan aku tanyakan yang ketiga maka ia menjawab, “Aku telah menanyakan hal itu kepada Rasulullah SAW, beliau bersabda, “Kamu harus memperbanyak sujud karena sesungguhnya tidaklah kamu sujud sekali kecuali Allah akan mengangkatmu satu derajat dan menghapuskan dengannya satu dosa.” (HR Muslim, Turmudzi, dan an-Nasa’i).

Kita dianjurkan untuk memperpanjang sujud bila shalat munfaridah (sendiri) karena Rasulullah menyindir orang-orang yang sujudnya cepat, dengan ungkapan bahwa mereka mematuk seperti ayam jago mematuk butiran makanan.

Sujud yang serius akan meninggalkan bekas di wajah orang Mukmin. “Kamu lihat mereka ruku dan sujud mencari karunia Allah dan keridhaan-Nya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.” (QS Al-Fath 29).

Bekas sujud inilah yang akan ditampakkan setiap Muslim via wajahnya. Di antara bekas sujud yang terpancar di setiap muka Muslim adalah ketundukan kepada keagungan Allah, ketawadhuan terhadap sesama insan, kelembutan, senyuman, menundukkan pandangan mata, membasahi bibir dengan zikrullah, sikap kasih sayang kepada anak yatim, fakir, dan miskin.

Sejalan dengan ini, dalam hadis Qudsi disebutkan bahwa Rasulullah berkata, “Aku hanyalah menerima shalat dari orang yang tawadhu terhadap keagungan-Ku, tidak sombong terhadap makhluk-Ku, tidak terus-menerus mendurhakai-Ku, selalu menggunakan siangnya untuk zikir kepada-Ku, mengasihi anak yatim, janda-janda, fakir, dan menyayangi orang yang tertimpa musibah. (HR Al-Bazzar).

Tanda hitam di dahi Muslim adalah salah satu ciri bahwa dia sering melakukan shalat. Namun, bekas sujud yang dikehendaki Allah adalah sikap tawadhu, kelembutan, kepedulian, dan kasih sayang yang dipancarkan wajah setiap Muslim. Wallahu a’lam.

Oleh Prof Dr KH Achmad Satori Ismail

 
Tinggalkan komentar

Ditulis oleh pada 23/07/2011 inci tausyiah hati